Minggu, 18 Maret 2012

Legenda Tanjung MarthaFons


Legenda Tanjung  MarthaFons’
            
             Dahulu kala di kampong poka, kecamatan Baguala, hiduplah sebuah keluarga bahagia yaitu Bram dan nyonya Mina. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang selain cantik juga rajin membantu orang tuanya. Namanya adalah Martha.
          Sehari-hari bapak Bram bekerja sebagai nelayan sedangkan ibu Mina membakar sagu. Martha setiap hari menjual sagu buatan ibunya dengan cara menjajakannya. Jika Martha sudah merasa lelah, Martha biasa beristirahat dibawah pohon sambil menghitung pendapatan  yang dia peroleh hari itu dengan penuh harap dagangannya bisa laku dan membawa uang yang banyak kepada orang tuanya.
 Ketika berumur 17 tahun Martha masih tetap berjualan sagu untuk membantu orang tuanya. Pada suatu hari Martha melewati asrama tentara portugis, Martha kaget namanya dipanggil saat hari sudah menjelang malam dan belum satupun dagangannya laku terjual. Ternyata orang yang memanggil Martha adalah tuan Alfonso, seorang komandan tentara Portugis .
Tuan Alfonso suka memperhatikan Martha yang suka berjualan sagu dan dengan alasan ingin membeli sagu. Tuan Alfonso pun mengajak Martha berkenalan. Nasib mempertemukan tuan Alfonso dan Martha.
 Sejak pertemuan itu tuan Alfonso jatuh cinta kepada Martha dan kemudian menjalin hubungan dengannya. Ketika Martha berumur 17 tahun tuan Alfonso bermaksud melamar Martha, Orang tua Martha menyutujuinya dengan syarat mereka menikah jika Martha berusia 19 tahun.
            Suatu ketika terjadi pertukaran markas pasukan portugis yang mengharuskan pasukan Alfonso harus di tarik mundur dari Ambon ke Batavia begitupun sebaliknya . Akhirnya perpisahan pun harus terjadi antara sepasang kekasih. Mau tidak mau Martha harus melepaskan Alfonso demi tugasnya . Kapal Alfonso telah berlabuh di pelabuhan, bunyi stom 3 kali membuat hati Martha sedih di tinggal sang kekasih. Tidak mampu menahan rasa sedih dan kehilangan Alfonso, Martha pun nekat membuang diri ke laut berenang ke arah kapal Alfonso kekasihnya.
Ketika melihat kekasihnya berenang , Alfonso pun ikut terjun ke laut berenang ke arah kekasihnya. Namun ,nasib berkata lain tubuh Alfonso dan Martha di hempas gelombang air laut dan hilang.
 Kisah cinta mereka berdua kemudian diabadikan menjadi tanjung yang sangat terkenal “Tanjung MarthaFons”. Dan sekarang sudah menjadi tempat penyeberangan Fery Poka-Galala…;-)

Susunan Masyarakat Maluku


SUSUNAN MASYARAKAT
DI MALUKU

            Sebagaimana telah ditakdirkan oleh Tuhan, manusia itu senantiasa hidup berkelompok sebagai mahkluk social. Kelompok-kelompok itu lalu membentuk suku-suku atau clan-clan. Pengelompokan itu bias berdasarkan keturunan atau genealogis dan bias juga karena kesatuan wilayah tempat tinggal atau territorial. Dasar pengelompokan yang tertua adalah keturunan atau hubungan darah, dan ini dapat dibagi lagi kepada matrilineal (garis ibu) dan pattrillineal (bapak). Susunan masyarakat mulai dari keluarga sebagai unit terkecil. Urutan selanjutnya  adalah rumatau, uku atau soa, aman atau negeri.
1   
  •   Rumatau
Kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah keluarga adalah rumatau atau lumatau. Kata pokoknya adalah “ruma” atau “rumah”. Sebutan untuk kata ruma ini berbeda di beberapa tempat, sesuai dengan dialek setempat. Menurut dialek Saparua disebut lumal, dialek Nusalaut rumal, dialek Haruku ruma, dialek Hila dan Asilulu luma. Kalau tau bias diartikan “isi”, maka rumatau berarti rumah yang didiami bersama-sama oleh orang-orang yang seketurunan dan keanggotaannya tersusun menurut garis bapak. Nama lain yang popular di kalangan rakyat untuk rumatau ini adalah mata-mata.Mata berarti “asal” atau induk., jadi mataruma berarti rumah induk atau rumah asal. Sebuah rumatau biasanya terdiri atas beberapa keluarga dengan kepala keluarganya masing-masing. Dari rumatau-rumatau inilah berkembangnya susunan masyarakat. Untuk mengatur urusan suatu rumatau, baik dalam hubungan ke dalam rumatau, maupun terhadap pihak ke luar, maka diangkatlah salah seorang drai anggota rumatau yang bersangkutan menjadi pimpinan dengan gelar “Upu”.

  • Uku
Karena pertambahan isi rumatau dengan lahirnya manusia-manusia baru di dalam rumatau tersebut, maka lama kelamaan rumah besar yang didiami bersama itu ruangannya tidak mencukupi lagi. Ruangan-ruangan seperti menjadi sempit. Dengan semakin padatnya isi rumah, maka timbullah berbagai masalah intern anggota-anggota rumatau itu. Karena itu timbullah keinginan dari sementara penghuni-penghuni untuk keluar memisahkan diri dari rumah besar itu dan membangun tempat tinggal sendiri di luar rumah bersama itu dan tentu saja setlah mendapat persetujuan dari upunya. Pada perkembangan yang pertama segala urusan diatur oleh upu dari rumatau tua, tetapi lama kelamaan dengan bertambahnya keturunan dari rumatau yang memencar dan semakin banyak pula rumah tangga baru serta banyaknya masalah yang timbul sehingga “upu” dari rumatau tua tidak mampu lagi mengurus semuanya itu secara terpusat. Oleh karena itu, timbullah pemikiran agar rumahtangga-rumah tangga yang memencar itu, sendiri-sendiri atau bergabung beberapa rumah tangga membentuk rumatau baru yang terlepas dari rumatau tua. Walaupun terjadi pemisahan diri, namun rumatau tua tetap dianggap sebagai induknya dan rumatau-rumatau yang baru adalah cabangnya. Dengan demikian, rumatau-rumatau yang sudah banyak itu menempati wilayah yang lebih luas yang disebut uku atau huku dengan seorang pemimpin bergelar Tamaela.

  •  Soa
Soa adalah suatu persekutuan territorial genealogis. Di dalam wilayah administrasi pemerintah,sekarang ini soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan atau negeri. Dibawah soa ini bernaung beberapa rumatau. Di dalam kenyataannya rumatau-rumatau dalam soa-soa tersebut tidak seketurunan. Mereka berasal dari keturunan yang berbeda-beda yang secara kebetulan menempati wilayah yang sama. Seringkali soa disamakan dengan uku oleh masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya ke-2 persekutuan ini berbeda. Jika pada uku unsure genealogislah yang paling dominan, maka pada soa unsure teritoriallah yang paling dominan dan yang menyebabkan rumatau-rumatau bergabung bersama. Soa biasanya dipimpin oleh seorang “Kepala Soa”.

  •  Hena dan Aman
Hena adalah suatu kesatuan masyarakat yang berunsurkan territorial. Di Ambon Lease hena aslinya adalah sebuah persekutuan yang lebih besar dari uku. Sebuah hena bisa terdiri dari beberapa uku.
Aman adalah suatu kesatuan dari pembagian-pembagian yang bersifat territorial serta memiliki kedudukan yang sama dengan hena. Hena atau Aman ini adalah bentuk kuno dari kesatuan atau persekutuan yang bersifat territorial dan sekarang tidak terpakai lagi.

  •  Negeri
Istilah Negeri bukanlah berasal dari bahasa asli daerah ini atau “bahasa tanah”. Suatu negeri adalah persekutuan territorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga buah. Sebuah negeri dipimpin oleh seorang kepala Negeri yang disebut Pamerentah dan sehari-hari dipanggil “raja”.
             
Demikian susunan masyarakat di Maluku yang pada awalnya terbentuk dari sebuah persekutuan kecil dan dari hari ke hari bertambah banyak dan membentuk sebuah persekutuan yang sangat besar.

Jumat, 09 Maret 2012

Negeri Adat di Maluku


    Desa di Provinsi Maluku disebut "Negeri Adat".   Negeri Adat ini memiliki sejarahnya masing-masing serta struktur pemerintahan tersendiri dan masih terpelihara hingga sekarang. Mengenai Negeri Adat di Maluku dapat dijelaskan sebagai berikut:        
              “Negeri” berasal dari bahasa “Sansekerta” yang berarti daerah, kota, kerajaan ( suatu wilayah pemerintahan ).
            “Adat” adalah aturan, kebiasaan dan hukum yang menuntut dan menguasai kelakuan serta hubungan-hubungan masyarakat.
                Negeri-negeri adat yang berada di Maluku khususnya pulau ambon terbentuk mula-mula oleh kelompok masyarakat sosial yang semakin hari semakin bertambah banyak.sehingga terjadilah atau terbentuklah suatu perkampungan yang terdiri dari beberapa “Mata rumah” yang disebut “Rumah tau” atau “Luma tau” beberapa mata rumah yang mempunyai hubungan genealogis territorial kemudian menggabungkan diri menjadi sebuah “soa”. Yang dipimpin oleh seorang kepala soa.
Beberapa Soa yang berdekatan berbentuk sebuah “Hena” atau “Amman” yang dipimpin oleh sebuah Ama (Bapak atau Tuan), yang kemudian dibentuk lagi sebuah perserikatan yang lebih besar yang dikenal dengan nama “Uli”, ada 2 jenis Uli yaitu : “Uli siwa”   artinya persekutuan 9 negeri dan “Uli Lima” artinya persekutuan 5 negeri. Di Maluku Tengah istilah “Uli” diganti dengan istilah “pata” yaitu “Pata Siwa dan “Pata Lima”.
Pada umumnya sebuah negeri dipimpin oleh seorang Raja berdasarkan garis keturunan yang dibawahnya ada Kepala Soa, yang merupakan pembantu utama Negeri dan dibantu oleh :
1.      Kapitan
Yang merupakan pemimpin atas negerinya dan mempunyai kewajiban mengurus segala sesuatu dengan masalah pertahanan dan keamanan ( Militer ).
2.      Kewang
Yang bertugas untuk mengawasi dan menjaga batas-batas tanah hasil-hasil hutan dan laut dari petuanan negerinya.
3.      Marinyo
Yang bertugas menyiarkan/memberitakan segala perintah raja kepada masyarakat.
4.      Maweng
Yang merupakan seorang pendeta adat dan berkewajiban memimpin upacara adat.
            Semua pejabat pemerintahan desa tergantung ke dalam suatu dewan desa bernama “Badan Saniri”, Badan Saniri ini terbagi atas 3 macam yaitu :
1.      Saniri Raja Patih
Yang terdiri atas raja dan kepala soa dan pelaksana administrasi dari pemerintah pusat.
2.      Saniri Lengkap
Yang terdiri atas Raja, Kepala Soa dan pejabat-pejabat lainnya untuk membuat aturan-aturan adat.
3.      Saniri Besar
Yang merupakan semua pejabat pemerintah Negeri juga semua warga laki-laki yang sudah dewasa.
           

Rabu, 29 Februari 2012

Asal Usul Negeri Lumoli

Sejarah Negeri Lumoli
  Asal - Usul Negeri Lumoli
Lumoli adalah salah satu negeri yang terdapat di Pulau Seram tepatnya Kab. SBB Kec. Piru. Asal-Usul dari Negeri ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dahulu kala di suatu daerah di pulau Seram, hiduplah moyang-moyang yang tinggal dan menempati sebuah daerah terpencil. Kesehariannya, moyang-moyang itu selalu melakukan kegiatannya seperti berburu dan bertani di wilayah yang mereka tempati tersebut. Kehidupan mereka pun masih tergolong sederhana. Hal itu terbukti dengan membuat tempat tinggal yang sederhana yang terbuat dari anyaman daun sagu dan moyang-moyang itu menyebut  rumah yang mereka tinggali tersebut dengan nama rumah bangkang. Selang beberapa tahun mereka tinggal di daerah tersebut, timbullah sebuah batu, tapi karena moyang-moyang beranggapan itu hanya batu biasa, maka mereka pun tidak menghiraukan batu tersebut. Selang beberapa saat, sebuah keanehan pun muncul, ketika moyang-moyang sedang memasak, dan kebetulan posisi tempat mereka memasak mempunyai kedudukan/tempat yang  lebih tinggi dibandingkan kedudukan batu tersebut, maka mereka pun membuang limbah dapur ke bawah dan mengenai batu tersebut. Sehingga batu tersebut berbicara kepada mereka, yang bunyinya “Poe Tipune Lomei Yake”  yang artinya “ Jang buang kotoran di sini, sebab katong ada di sini”. Karena keanehan yang terjadi tersebut, moyang-moyang itupun merasa keheranan dan segera meninggalkan tempat tersebut. Setelah tiga hari, moyang-moyang itu kembali, dan batu tersebut bertambah tinggi ± 5 cm, karena moyang menganggap itu sebagai suatu keajaiban dan mereka menganggap itu adalah para leluhur mereka, maka moyang-moyang itu pun segera menutupi batu tersebut dengan menggunakan daun sagu yang dianyam menjadi atap.
Satu bulan kemudian, batu tersebut tingginya bertambah lagi ± 25 cm. Dan pada malam harinya, pada saat batu tersebut sedang puasa, batu tersebut berkata kepada masyarakat setempat bahwa tempat yang kamu tinggal ini namanya “Batumoli” yang berarti Batu Pamali atau Batu Keramat. Kemudian masyarakat membuat suatu tempat khusus untuk menandakan tempat munculnya batu tersebut. Awalnya yang berdiam di daerah tersebut hanyalah sekelompok orang saja, setelah beberapa tahun kelompok tersebut berkembang menjadi sebuah kampung. Kampung awal tersebut bernama Batumoli.
Dapat dijelaskan pula, bahwa gambar batu keramat seperti yang dijelaskan di atas tidak dapat diulas lebih jauh dan juga tidak dapat diambil gambarnya karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat dikeramatkan oleh warga dan tua adat setempat, sehiangga kami pun tidak diperbolehkan untuk melihat dan mengetahui lebih jauh mengenai batu tersebut. Apalagi mengambil gambarnya karena mereka meyakini bahwa apabila mereka memperlihatkan kepada orang asing yang bukan penduduk setempat, masyarakat akan mengalami suatu bencana/musibah.
Beberapa tahun kemudian, karena kondisi kampung yang kurang memadai untuk menampung masyarakat, masyarakat kampung tersebut dipindahkan ke sebuah tempat yang bernama eslatup yang pemerintahannya dipimpin oleh Sekei Lumapuli. Setelah beberapa tahun, jumlah penduduk pun semakin meningkat, sehingga masyarakat kemudian dipindahkan lagi ke sebuah tempat yang bernama Eslatuk. Mereka tinggal di sana sekitar 5 tahun. Kemudian pindah lagi ke sebuah daerah yang bernama Liunama. Jarak antara Eslatuk dan Liunama diperkirakan ± 500 m. Setelah itu, masyarakat mengangkat Tumoa Makalui untuk memerintah. Pada waktu itu, terbentuklah sistem pemerintahan yang sah yang terjadi sewaktu pemerintahan Tumoa Makalui, karena Tumoa Makalui dilantik sebagai raja di Hila Kaitetu dan setelah proses pelantikan ini, barulah ada pengakuan tentang keberadaan Negeri Lumoli. Dan pada saat yang sama pula bangsa Belanda sampai di Pulau Seram. Setelah kembali dari Hila Kaitetu, karena jumlah penduduk yang terlalu banyak, Tumoa Makalui membagi masyarakat dalam sembilan soa yang dikenal dengan nama “Lumbatu Nurui Sikwa”.
Sembilan soa yang dibagi oleh Tumua Makalui meliputi :
1.      Lumoli
2.      Neniary
3.      Rumasoa
4.      Riring
5.      Morikao
6.      Kamal
7.      Nurue
8.      Waisamu
9.      Eti
Setelah itu, masyarakat pindah lagi ke Popela. Di sana pemerintahan raja Tumoa Makalui berakhir karena usianya yang beranjak tua. Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Suita Makalui. Karena wilayah yang tidak memadai, kemudian masyarakat itu dipindah lagi ke Tanake, setelah dari Tanake pindah lagi ke Kwasulatal. Pemerintahan Suita berakhir di Kwasulatal dan digantikan oleh Halana Patty Matital. Ketika pemerintahan Halana Patty Matital berakhir, ia digantikan oleh Buata Matital. Bersamaan dengan masa pemerintahan Buata Matital, saat itu juga agama Kristen masuk di negeri Lumoli. Pertama kali agama Kristen masuk di negeri Lumoli pada tanggal 10 April 1929 dibawa oleh seorang guru Jemaat bernama Hendrik Pentury. Setelah agama Kristen masuk ke Desa Kwasulatal (Sekarang Lumoli), pemimpin mereka yakni Buata Matital yang sudah masuk agama Kristen dibabtis dan berganti nama menjadi Benjamin Matital. Awalnya tantangan untuk penyebaran agama Kristen sangat banyak. Namun dipermudah ketika ada dua orang wanita yang telah dibaptis di Hatusua datang membawa kabar mengenai agama Kristen ke negeri tersebut. Kemudian diperkirakan pada saat itu ±100 orang yang bersedia memberi diri untuk dibaptis. Karena adanya respon masyarakat yang positif dengan ajaran baru (agama Kristen) tersebut, maka semakin banyak pula masyarakat yang membawa dirinya untuk dibabtis sehingga kebanyakan masyarakat setempat beragama Kristen.
Tak lama kemudian, gerakan separatis RMS mulai mengembangkan sayapnya di Seram. Karena takut akan ancaman gerakan separatis RMS, masyarakat dipindahkan dari Kwasulata ke sebuah tempat yang bernama Aileoboela. Nama tempat tersebut diberikan oleh keluarga Soumokil. Pada saat di Aileoboela pemerintahan Benjamin Matital berakhir dan digantikan oleh Zeth Makalui.
Akibat pengoperasian besar-besaran yang dilakukan oleh RMS, kemudian desa sementara dipindahkan lagi ke Ai inauei. Menurut penuturan dari Bpk. Ledrik Lumapuy, “Karena ada penglihatan dari moyang kami, sehingga nama desa tersebut diubah menjadi Soat yang artinya keluputan daripada sengsara”, sehingga nama Ai inauei oleh Zeth Makalui diganti menjadi Soat, dengan tujuan agar masyarakat selamat dari ancaman RMS. Tidak lama kemudian,           sewaktu terjadi pemberantasan RMS oleh TNI, masyarakat setempat yang sedang mengungsi ditemukan oleh Kombet (pasukan kompi bantuan TNI), dan oleh Kombet, masyarakat dipindahkan ke Piru. Pemindahan tersebut dipimpin oleh Brigjen Banuarli. Setelah itu dipindahkan lagi ke kampung Sabalua (masih termasuk wilayah petuanan Desa Piru). Daerah yang ditempati oleh masyarakat tersebut adalah tanah milik keluarga Laturete yang merupakan penduduk kampung Sabalua.
Dikarenakan jumlah masyarakat yang mengungsi terus menerus bertambah maka masyarakat dipindahkan ke desa Porolue untuk mendirikan negerinya sendiri. Pembentukan negeri tersebut diprakarsai oleh Brimob yang berasal dari Jakarta. Dan proses pembangunan desa tersebut dikerjakan oleh masyarakat dan dibantu oleh Brimob tersebut. Pada tahun 1974 jabatan dari Zeth Makalui berakhir dan digantikan oleh Dominggus Sasake. Dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan, pada tahun 1976 desa kembali dipindahkan ke Lumbuin (Daerah Lumoli sekarang). Setelah masa jabatan Dominggus Sasake berakhir, karena tidak adanya calon untuk menduduki tahta raja, maka pemerintahan diserahkan ke pejabat pemerintahan sementara yaitu Jonathan Makalui hingga Raja negeri Lumoli terpilih. 

B.        Sistem Pemerintahan Negeri Lumoli
Awalnya negeri Lumoli terdiri dari sembilan soa, namun sekarang negeri Lumoli hanya terdiri atas 3 soa yaitu,
1.      Soa Lumoli yang terdiri dari 4 matarumah yakni,
-. Matarumah Matital
-. Matarumah Makalui
-. Matarumah Lumopui
-. Matarumah Sasake
2.      Soa Nurue yang terdiri dari 3 matarumah yakni,
-. Matarumah Lekalaet
-. Matarumah Lemosol
-. Matarumah Mairuhu
3.      Soa Laturake yang hanya terdiri dari 1 matarumah yakni,
-. Matarumah Laturake
            Sedangkan enam soa yang lain telah terlepas dari negeri Lumoli dikarenakan mereka menginginkan untuk membuat negerinya sendiri. Tetapi meski demikian, keenam soa yang lain walaupun telah memiliki negerinya sendiri, tapi tetap merupakan bagian dari negeri Lumoli. Sehingga semua permasalahan yang menyangkut permasalahan adat harus diselesaikan di negeri Lumoli.

Asal Usul Negeri Passo

Asal Usul Negeri Passo
Nenek moyang penduduk asli Negeri Passo berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina tepatnya di daerah Hoamual. Saat itu terjadi perang besar-besaran antara  kelompok Patasiwa dan Patalima hingga penduduk yang mendiami daerah Hoamual merasa tidak aman. Akhirnya mereka melakukan perpindahan atau exodus dengan mengarungi lautan mencari daerah yang aman untuk dihuni.
Menurut orang Portugis istilah Passo berarti berada di tengah-tengah. Karena Negeri Passo terletak diantara dua jasirah yakni Jasirah Leihitu dan Jasirah Leitimur. Sedangkan menurut orang Belanda nama Passo berasal dari 2 kata yakni Pas dan So. Pas artinya surat jalan dan So artinya ya. Karena Passo letaknya strategis di persimpangan jalan maka Belanda membuat persinggahan ( pos penjagaan ) untuk memeriksa orang-orang yang datang dari daerah seberang yang melintasi Passo. Mereka harus menunjukan Pas ( surat jalan ). Jika Pas yang ditunjukan itu memang benar, maka Belanda menyebutnya dengan kata So. Akhirnya kedua kata itu menyatu dalam sebutan Passo. Sementara dalam bahasa tanah, Passo dalam arti sebenarnya ialah Paukalla artinya daerah atau tempat yang berkedudukan ditengah-tengah Jasirah Leihitu dan Leitimur sebagai pusat genting tanah Baguala ( Pulau Ambon ). Dari berbagai versi dapatlah dikatakan bahwa Passo memiliki makna berada di tengah-tengah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tua-tua adat Negeri Passodapat diketahui bahwa  penduduk asli Negeri Passo terbagi atas tiga kelompok. Kelompok yang pertama datang pada pertengahan abad ke-14 dengan menggunakan buaya sebagai alat transportasi mereka. Buaya ini bernama “Pakuela” ( artinya : tertancap, tinggal dan menetap ) dan berlabuh di Pelabuhan Baguala. Setelah berlabuh rombongan ini melanjutkan perjalanan ke daerah pegunungan yaitu “Gunung Ariwakang” yang berbatasan dengan Hitu dan menetap di situ.
           Di tempat ini bermukim sepuluh kepala keluarga yang terbagi dalam empat mata rumah yaitu Titariuw, Simauw, Tuatanassy dan Parera. Rombongan ini dipimpin oleh seorang kapitan yaitu Kapitan Tuatanassy. Konon katanya dulu Titariuw dan Simauw ( kakak dan adik ) berasal dari satu mata rumah yaitu mata rumah Titariuw.  Namun pada suatu saat Titariuw dan adiknya turun ke laut untuk bameti (mencari ikan ) tapi mereka dikejar oleh bangsa mata kucing( sebutan untuk bangsa Portugis) mereka pun lari ke gunung namun sang adik pun tertangkap karena sang adik telah tertangkap si kakak pun berjalan mundur agar menghilangkan jejak dan mendorong sebuah batu untuk menghalangi jalan ke negeri, batu ini dikenal dengan nama “Batu Pele”. Sampainya dia di negeri, dia pun diangkat menjadi pemimpin di negeri tersebut dengan gelar “Raja Hutan”. Namun, pemerintahannya tidak bertahan lama karena terjadi peperangan di Hitu yang mengancam keselamatan mereka sehingga mereka memutuskan untuk mencari tempat baru yang aman untuk dihuni.Sebelum melakukan perpindahan, mereka mengadakan musyawarah di baileo tua  (berupa pohon beringin yang dilingkari lilitan tujuh gelang emas). Dari hasil musyawarah tersebut diambil keputusan untuk menggulingkan batu guna mencari pemukiman yang baru. Batu tersebut digulingkan melalui pintu muka gunung dan melewati  Ohouw ( pesisir pantai Negeri Lama sekarang ) dan berhenti di Teluk Dalam. Untuk mengenang batu tersebut maka dibangun sebuah gereja yang posisinya sejajar dengan batu. Di Ohouw Titariuw dan adiknya sempat berkumpul.
           Akhir abad ke-14 datang rombongan ke-2 dari Pulau Seram dan tiba di teluk Tomatala( teluk Baguala ) di pantai Sikabiri dan Larier setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dan mendiami lokasi Amamoni di pegunungan Tahola. Setelah agama Islam masuk Rombongan ini terdiri atas beberapa mata rumah yaitu Latupela, Sarimanela, Termature, Wattimury. Abad ke-15 menyusul rombongan ke-3 dengan perahu belang tiba di labuhan Tomalima di pantai Wayori. Kemudian menuju ke Amaory dan berdomisili disitu. Rombongan ini terdiri atas beberapa mata rumah yaitu Rinsampessy, Tuhilatu, Tomaluweng, dan Matuwalatupauw.
Abad ke-16 ( 1610 ) Belanda masuk menggantikan Portugis dan bertemu dengan penduduk yang sedang bameti. Kemudian meminta  untuk bertemu dengan pemimpin mereka yaitu Kapitan Tuatanassy. Namun kapitan tidak mau turun dan mengirim dua utusan yaitu Titariuw dan adiknya sesampainya di bawah Belanda bersikeras untuk bertemu dengan Kapitan Tuatanassy  sehingga Belanda menyuruh Titariuw kembali memanggil Kapitan akan tetapi kapitan Tuatanassy  tak kunjung datang. Karena hal inilah Belanda bertanya kepada Adiknya Titariuw “se mau jadi raja?” dan orang tersebut menjawab “mau” dan dia diangkat oleh Belanda menjadi raja, sejak saat itulah ia disebut “Upu Latu Simauw”.

-          Sosial Kemasyarakatan
Struktur sosial tradisonal tampak dalam pembagian tiga soa yaitu:
           - Soa Koli
           - Soa Moni
           - Soa Rinsama
Masing-masing soa mempunyai Kepala Soa yang berperan sebagai pemimpin soa berdasarkan garis keturunannya.
¡  Soa Koli
ú  Mata rumah Simauw   : teunnya bernama Lulupau
ú  Mata rumah Titariuw   : teunnya bernama Lulupau
ú  Mata rumah Parera      : teunnya bernama Paitoang
ú  Mata rumah Tuatanassy: teunnya bernama Marikering
¡  Soa Moni
        Pada soa ini hanya dua mata rumah yang memiliki teun, yaitu:
ú  Mata rumah Sarimanela         : teunnya bernama Lelima.
ú  Mata rumah Latupela            : teunnya bernama Prokosina
¡  Soa Rinsama
        Pada soa ini hanya dua mata rumah yang memiliki teun, yaitu :
ú  Mata rumah Tomaluweng      : teunnya bernama Hulubalang
ú  Mata rumah Tuhilatu             : teunnya bernama Lakora

-          Agama dan Kepercayaan
Dalam hidup keagamaan, Passo awalnya memeluk agama Islam ditandai dengan adanya bangunan Mesjid Tua di Pegunungan Tahola. Namun, mesjid tersebut kini telah hilang ditelan masa tetapi kepala dari mesjid ini masih ada di Ruhumoni, yang diyakini diambil tanpa sepengetahuan nenek moyang Negeri Passo yang pada saat itu sedang Bameti ( mencari ikan dan kerang ). 
Saat bangsa Portugis masuk penduduk Negeri Passo beralih dan memeluk agama Kristen Katholik yang dirintis oleh tokoh pekabaran injil Franxiscus Xaverius. Namun, setelah Belanda menggantikan Portugis dan berkuasa di Ambon sejak tahun 1605 maka jemaat-jemaat Katholik menjadi jemaat Protestan. Perkembangan gereja Protestan pada abad ke-17 dan ke-18 sangat suram terutama di Maluku ( Ambon ). Barulah dengan hadirnya pekabaran injil Pdt. Joseph Kham, gereja dapat berkembang lagi berkat usaha-usahanya yang keras.
Dan pada zaman pemerintahan Raja Karel Riddof Simauw direncanakan pembuatan sebuah gedung gereja yang representatife dan permanent direncanakan pendiriannya pada tahun 1895 tetapi baru bisa terlaksana pada tahun 1904. Peletakan batu pertama bangunan gereja baru dilakukan oleh Pdt. Leter Bour Van Waay dan Raja R. K. Simauw pada tanggal 19 Mei 1964. dan yang menjadi tukang dari bangunan ini adalah Bapak Benjamin Tanahitumesing anak negeri Passo sendiri. Gereja ini direhab dan direnovasikan dan sekarang dinamai “Gereja Menara Iman”.

-          Hubungan Pela
Negeri Passo  merupakan negeri yang mempunyai hubungan pela dengan Negeri Batu Merah. Bentuk persekutuan pela antara ke-2 negeri ini adalah “Pela Keras atau Pela Gnadong”. Dan perkawinan antara ke-2 masyarakat dilarang, mengenai terjadinya hubungan pela ini dituturkan sebagai berikut. Bahwa sekitar tahun 1509, utusan ke-2 negeri ini pergi ke Ternate untuk menyerahkan upeti kepada Sultan Ternate. Dalam pelayaran pulang dari Ternate ketika tiba di dekat pantai Pulau Buru, kora-kora dari Negeri Passo tiba-tiba mendapat kecelakan karena terkandas dan hamper tenggelam. Untunglah mereka ditolong oleh anak buah kora-kora dari Negeri Batu Merah yang dengan berusaha keras membantu memperbaiki kerusakan kora-kora Passo dan akhirnya mereka dapat mendarat di sebuah tanjung yang kemudian di berinama “Tanjung Pela”. Ditempat inilah ke-2 belah pihak sama-sama mengangkat sumpah untuk hidup rukun dan saling membantu seperti saudara gandong. Upacara adat pela ini disimbolkan dengan dua bilah panggayo yang diletakkan bersilang dan ditindih dengan sebuah batu .

-          Situs Bersejarah
-          Benteng Middleburg
Benteng ini pertama kali dibuat oleh Portugis kemudian pada tahun 1610 benteng ini jatuh ke tangan Belanda sesuai dengan masuknya Belanda ke negeri Passo dan setelah itu direnovasi guna memperkuat kedudukan Belanda di Passo. Benteng ini selesai di renovasi pada tahun 1700.
       Benteng ini terletak di Negeri Passo, Kecamatan Baguala, Kotamadya Ambon. Lokasi benteng berada di belakang pertigaan ruas jalan raya yang menghubungkan Passo-Natsepa dan Passo-laha. Saat ini benteng berada di tengah – tengah pemukiman penduduk, harus melewati halaman rumah jika hendak menuju ke benteng baik dari arah depan maupun belakang, sehingga sulit melihat sisa benteng dari arah jalan raya.
       Kondisi benteng telah rusak, sisa struktur yang ada hanya dua sisi dinding setinggi ± 5 meter yaitu dinding timur dan barat, pada dinding timur terdapat tiga buah jendela, dinding utara dan selatan hanya tersisa bagian pondasi saja. Denah dasar benteng adalah segi empat, ukuran bagian dalam ± 5 x 5 meter, dinding benteng tersusun dari bahan batu bata tanpa dilapisi plester dengan ketebalan ± 50 cm.
       Titik lokasi benteng berada pada daratan sempit yang diapit oleh teluk Binnen dan teluk Baguala. Menurut informasi, benteng ini menjadi pusat pengawasan aktifitas yang menghubungkan dua wilayah pada masa tersebut yaitu Leihitu dan Leitimur, berdasarkan pengamatan peta terbitan Belanda, kedua teluk dihubungkan oleh Kanal yang sekaligus menjadi akses menuju benteng. Sekarang ini karena proses pengendapan, garis pantai kini berjarak 100 meter dari lokasi benteng. Sayangnya, benteng ini tidak mendapat perhatian dari masyarakat maupun pemerintah setempat untuk melakukan berbagai upaya lanjut yang dapat mendatangkan income bagi daerahnya. Disamping minimnya pengetahuan masyarakat akan manfaat yang diperoleh jika dikelola dengan baik, tetapi juga pemerintah yang kurang mengetahui jelas tentang keberadaan tinggalan kolonial di Maluku.

-          Letak Geogerafis
Negeri Passo terletak di antara dua jazirah yaitu Jazirah leihitu dan Jazirah Leitimur.  Mempunyai dua pelabuhan yaitu labuhan Tomalima dalam Teluk Baguala dan labuhan Resilolo dalam teluk Ambon ( teluk dalam ).  Di  petuanan negeri  Passo terdapat empat batang air ( sungai ).  Tiga buah mengalir dari Jazirah Leitimur yaitu :  Waitanahitu ( air besar ), Waitatiri dan Waimahu, sedangkan yang mengalir dari Jazirah Leitimur adalah waiyori yang mengalir ke teluk dalam ( Ambon ) adalah Waitanahitu ( air besar ) dan tiga lainnya mengalir ke teluk baguala.  Passo memiliki dua macam iklim yaitu musim panas dan musim hujan.  Passo  sebagai negeri adat mempunyai petuanan ( wilayah kekuasaan ) yang termasuk di dalamnya kampung Negeri lama dan Nania.  Di sebelah Selatan, berbatasan dengan negeri Hutumuri, sebelah Utara dengan Hitu  dan  mamala, sebelah Timur  dengan suli, dan  sebelah Barat  dengan Halong  dan  Lateri